Jakarta – Partai politik (parpol) semata tak bisa disalahkan bila banyak yang menganggap jurang antara cita-cita Reformasi 1998 dan kenyataan kian lebar. Reformasi adalah pemicu proses perbaikan yang tentu memerlukan waktu untuk 100 persen terwujud.
Menurut Politikus Muda Partai Golkar, Tubagus Ace Hasan Syadzily, sebagai salah seorang yang terlibat dalam aksi-aksi 1998, salah satu yang diperjuangkan saat itu adalah soal bagaimana membangun demokratisasi di tubuh Indonesia setelah mengalami otoritarianisme Orde Baru.
Kini setelah 20 tahun, Indonesia sudah dianggap menjadi negara demokratis. Dunia bahkan menganggapnya sebagai sebuah prestasi sebab Indonesia berhasil mendobrak oligarki politik saat itu.
Walau demikian, banyak yang menganggap parpol membajak agenda pembaruan itu. Parpol lewat wakilnya di parlemen dinilai lebih asyik memperjuangkan kepentingan kelompok. Banyak undang-undang yang bermasalah. Reformasi lebih dimaknai sebagai kebebasan tanpa tanggung jawab serta tanpa kepastian hukum. Kondisi ini menyebabkan intoleransi dan radikalisme berkembang pesat dan korupsi bertumbuh subur.
Syadzily mengatakan bahwa keadaan itu tak sepenuhnya menjadi tanggung jawab elemen parpol. Memang parpol adalah pilar utama demokrasi tetapi eksistensi parpol ada karena masyarakat juga.
“Seandainya parpol dan anggota parlemen yang ada dianggap tak memenuhi ekspektasi publik, harusnya dikembalikan ke publik sendiri, kenapa tetap memilih yang buruk?” kata Syadzily, Senin (21/5).
Jika kini radikalisme muncul, parpol juga tak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab radikalisme tak muncul karena tak puas dengan kinerja parpol. Namun cenderung karena ada kelompok yang belum bisa menerima Pancasila dan demokrasi itu sendiri. “Itu yang malah mungkin membuat, misalnya, radikalisme muncul,” imbuhnya.
Sementara soal korupsi, lanjut Syadzily, juga jadi bagian dari kekhawatiran parpol. Memang ada anggota parpol dan Parlemen yang terkena kasus korupsi. Namun, dia balik mempertanyakan, persentase dari anggota dewan yang korupsi dibanding pihak lainnya.
“Kalau mau dikuantifikasi, lebih banyak eksekutif atau legislatif yang kena kasus korupsi? Jadi tak tepat bila masalah di republik ini disalahkan ke parpol,” katanya.
Walau demikian, dia sepakat bahwa parpol memang harus semakin memperbaiki diri dan negara harus mendukungnya. Dia lalu membandingkan Indonesia dengan negara demokrasi yang maju.
Menurut Syadzily, negara maju membiayai partai politiknya. Di Australia, 100 persen biaya parpol ditanggung negara. Di Eropa, ditanggung sekitar 75 persen.
“Kalau mau demokrasi kuat, negara harus memberi perhatian ke parpol. Jadi siapapun bisa berkiprah di parpol, tanpa harus mengutamakan yang punya uang yang ujungnya bisa menimbulkan oligarki baru,” ulasnya.
Lebih jauh, dia mengatakan bahwa usia Reformasi baru 20 tahun. Wajar bila masih ada trial dan error dan memang tak bisa mengharapkan hasil yang instan.
“Setidaknya di 20 tahun ini, Indonesia sudah ke arah lebih baik karena sudah banyak pembenahan,” kata mantan Ketua Senat Mahasiswa UIN Jakarta itu.
Sumber : beritasatu.com