”Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan.” — KH Hasyim Asy’ari
Pernyataan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, itu menggambarkan posisi yang diambil organisasi kaum nahdliyin itu dalam kehidupan kebangsaan. Sejak berdiri pada 16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926 Masehi, NU terus konsisten memperjuangkan politik kebangsaan.
NU yang didirikan KH Hasyim bersama KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, serta beberapa ulama itu sejatinya merupakan respons para ulama terhadap kebangkitan nasional tahun 1908. Kata nahdlatul berarti ’kebangkitan’ sehingga Nahdlatul Ulama bisa diartikan sebagai ’kebangkitan para ulama’.
Kiprah NU dalam merebut kemerdekaan tak diragukan lagi. Dua tahun menjelang kemerdekaan RI, pondok-pondok pesantren mendirikan laskar perjuangan. Dari semangat para kiai dan santri itu pula kemudian lahir Laskar Hisbullah yang berarti tentara Allah. Laskar yang didirikan pada Desember 1944 itu berjuang untuk berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Semangat nasionalisme kaum nahdliyin juga ditunjukkan dengan pembentukan Laskar Sabilillah, beberapa bulan setelah Indonesia merdeka. Pembentukan laskar itu diawali dengan adanya keputusan Pengurus Besar (PB) NU mengeluarkan Resolusi Jihad Fii Sabilillah, 22 Oktober 1945.
Melalui resolusi jihad, Rais Akbar NU Hasyim Asy’ari menyerukan bahwa berperang dan melawan penjajah itu fardu ’ain bagi seluruh Muslim, tanpa kecuali. Fardu ’ain berarti tiap-tiap Muslim wajib menjalankan dan tidak boleh diwakilkan.
Fatwa jihad yang keluar untuk merespons upaya Belanda dengan membonceng tentara Sekutu untuk merebut kembali Indonesia berisi lima butir seruan. Hal itu antara lain kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan dan RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong.
Seruan lainnya adalah umat Islam, terutama anggota NU, harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin kembali menjajah Indonesia. Resolusi jihad itulah yang membakar semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Politik praktis
Sejarah juga mencatat, NU terlibat politik praktis di awal kemerdekaan. Bersama dengan organisasi Islam lainnya, NU membentuk Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada November 1945. Namun, kemudian, pada Muktamar Palembang 1952, NU memutuskan keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri.
Pada pemilu pertamanya pada tahun 1955, Partai NU menduduki peringkat ketiga dengan raihan 6,95 juta atau 18,41 persen suara sah nasional. Partai NU berhasil menguasai 45 dari 257 kursi parlemen.
Pasca-Pemilu 1971, tepatnya tahun 1973, pemerintah Orde Baru memutuskan Partai NU digabungkan dengan partai-partai Islam lain dengan membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sekitar 10 tahun kemudian, tepatnya pada Muktamar NU tahun 1984, NU memutuskan menarik diri dari politik praktis dan kembali ke Khitah 1926.
Namun, memasuki era Reformasi, para ulama NU bersepakat mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Semenjak itu, PKB menjadi saluran politik sebagian nahdliyin dan selalu identik dengan NU.
Menjelang satu abad dalam penanggalan Hijriah, NU berupaya kembali ke Khitah 1926. Gerakan kembali ke Khitah 1926 digaungkan KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU yang terpilih dalam Muktamar Lampung 2021.
Keputusan itu tentu menimbulkan pro dan kontra mengingat tidak sedikit anggota ataupun kader NU yang terlibat politik praktis. Tidak sedikit pula nahdliyin yang menempati posisi-posisi strategis, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Bahkan, Wakil Presiden Ma’ruf Amin merupakan ulama NU.
Lakukan perbaikan
Ditemui di kediaman resminya di Jakarta, Rabu (1/2/2023), Wapres Amin menyampaikan bahwa tugas utama NU adalah melakukan perbaikan, bukan mencari kekuasaan. Karena itu, ketika nahdliyin diberikan kekuasaan, semestinya dimaknai sebagai cara untuk melakukan perbaikan. Dengan demikian, apa pun jabatan yang dipegang, kekuasaan mesti digunakan untuk melakukan perbaikan.
”Menurut pandangan keagamaan, kekuasaan apabila diberikan dan diwajarkan untuk mendapatkan itu bukan sesuatu yang harus dihindari. Yang tidak boleh itu ambisinya untuk mendapatkan kekuasaan,” ucap Wapres yang pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU periode 2015-2018 itu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menambahkan, dalam politik ada dua hal yang menjadi pembeda, yaitu politik kebangsaan sebagai inspirasi dan politik kenegaraan. Hal-hal yang diperjuangkan dalam politik kebangsaan adalah keadilan, kejujuran, penegakan hukum, toleransi, persatuan, dan kesatuan. Namun, politik kebangsaan tidak akan berjalan tanpa ada politik praktis. Oleh karena itu, NU perlu memiliki tangan-tangan yang bergerak dalam tataran politik praktis itu.
Dulu, pada saat NU menjadi partai politik, tangan-tangan tersebut terlibat langsung dalam politik praktis. Kini, di tangan kepemimpinan Gus Yahya, NU dikembalikan pada khitahnya untuk tidak terlibat aktif dalam politik praktis.
”Bagi saya, ini adalah soal strategi yang bersifat situasional. Saat kader NU berpencar di sejumlah parpol, yang terpenting bisa menempatkan NU di etalase ilmu pengetahuan, budaya, dan seni,” ucapnya.
Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU Ace Hasan Syadzily memahami setiap warga NU yang terjun dalam politik praktis harus memiliki pemikiran politik kebangsaan yang digelorakan NU. Meskipun berada di sejumlah parpol dengan ideologi beragam, nahdliyin mesti mengaktualisasikan gagasan-gagasan NU dalam memperjuangkan kebangsaan melalui parpol yang diikutinya. Bahkan, dengan beragamnya latar belakang politik, warga NU bisa lebih leluasa meyebarkan nilai-nilai NU ke semua parpol.
Helmy Faishal Zaini, mantan Sekjen PBNU yang juga politisi PKB, mengungkapkan, untuk mencapai kemaslahatan, masyarakat membutuhkan perangkat kekuasaan. Artinya, politik kebangsaan bukan berarti tidak memiliki cita-cita untuk merebut kekuasaan. Politik kebangsaan bertujuan mewujudkan harapan sekaligus gagasan sehingga sifatnya tidak pasif. Politik kebangsaan dibutuhkan pada saat ada situasi yang mengancam, seperti potensi disintegrasi bangsa.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menambahkan, menurut NU, tindakan pemimpin terhadap rakyat itu harus didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan. Dengan demikian, kader NU yang duduk sebagai pemimpin politik dan pemerintahan harus menjalankan kaidah itu, bukan untuk kepentingan sempit. ”Inilah politik kebangsaan yang harus terus dijaga dan ditunaikan kader-kader NU di ruang politik dan kekuasaan,” katanya.
Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim, mengungkapkan, pilihan NU kembali ke Khitah 1926 sudah tepat. NU kembali sebagai jam’iah yang mengutamakan politik kebangsaan, bukan politik elektoral. Sebab, pascareformasi 1998, ada kecenderungan NU dan warga NU semakin mendekat ke politik elektoral. Kondisi ini mengakibatkan warga NU mudah terombang-ambing dalam politik elektoral yang tidak sehat bagi NU. ”Khitah ini mudah diucapkan, tetapi justru banyak distorsi politiknya,” katanya.
Gaffar memahami warga NU tidak bisa dijauhkan dari politik elektoral karena NU merupakan kekuatan yang besar, terlebih karakter utama warga NU yang mudah digerakkan hanya dengan mendekati beberapa kiai kunci. Oleh sebab itu, diperlukan pengelolaan politik agar warga NU tidak mudah terombang-ambing dalam berpolitik.