Sampai hari ini Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk meyakinkan seluruh warga negara bahwa Pancasila adalah ideologi final yang tidak perlu lagi dibahas keabsahannya untuk dijadikan pedoman tingkah laku dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam hal ini, harus diakui, sebagian kecil umat Islam masih berada pada sikap setengah hati tersebut. Hal ini menjadi perhatian Anggota DPR RI Tubagus Ace Hasan Syadzily yang menyatakan bahwa substansi ajaran Islam justru sangat berkelindan dengan Pancasila.
Ace menilai bahwa agama adalah sumber nilai yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Singgungan Islam dengan Pancasila sebetulnya terjadi hanya pada tataran penterjemahan doktrin agama ke ranah ruang dan waktu. Menurutnya, pemahaman atas teks harus dilekatkan dengan konteks.
“Di situlah tugas manusia untuk memaknai doktrin dan ajaran pokok yang terkandung dalam Islam sebagai sebuah nilai yang sempurna tersebut. Bisa jadi, dan pasti, setiap orang memiliki perbedaan pemahaman terhadap doktrin Islam yang diinterpretasi dari ajaran tersebut,” ungkap Ace dalam buku terbarunya yang berjudul “Menapak Jalan Politik: Jejak Langkah dan Pemikiran DR. TB. H Ace Hasan Syadzily, M.Si” (2018:121).
Akan tetapi, bagi Ace, perbedaan penafsiran tersebut tetap harus disikapi dengan bijak. Pertama, perbedaan dalam pemahaman doktrin Islam harus dilihat secara positif sebagai pengayaan khazanah pemikiran Islam itu sendiri. Kedua, penterjemahan semangat beragama yang dilakukan seseorang atau kelompok belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan. Betapa pun kerasnya berusaha, manusia tetap berada pada tataran interpretasi terhadap kehendak Allah tersebut, dengan cara menyesuaikannya dengan latar ruang dan waktu.
“Yang terpenting adalah memahami dan memaknai apa yang menjadi semangat dari nilai-nilai tersebut.” (hal 122)
Saat ditemui Rimanews.com di kantornya terkait buah pikir dalam buku tersebut, Rabu (03/10/2018), Ace mengatakan dalam diskursus politik yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
“Saya belajar dari Cak Nur (alm. Nurcholis Madjid) yang mengatakan bahwa Islam yes, partai Islam no. Itu yang mendorong saya untuk berpolitik dengan tujuan umum memperjuangkan prinsip syariat tanpa perlu memformalkannya,” katanya.
Mengutip Imam al-Syatibi, Ace memerikan bahwa prinsip syariat dalam berpolitik meliputi lima hal: pertama, memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama (hifdzul din); kedua, memelihara akal dan mengembangkan cara pandang untuk kepentingan umat (hifdzul aql). Ketiga, memelihara jiwa dan memenuhi hajat hidup (hifdzul nafs). Keempat, menjaga hak rakyat untuk memiliki properti (hifdzul mal). Kelima, memelihara sistem keluarga (hifdzul nasl).
Dengan orientasi berpolitik seperti itu, Ace menilai bahwa Pancasila seharusnya tidak lagi dipermasalahkan. Dia mengajak segenap anak bangsa untuk menatap ke depan dalam membangun negara sesuai dengan yang dirumuskan para pendiri bangsa, baik dalam Proklamasi maupun UUD 1945.
Ayah dari tiga anak ini mengatakan, dalam konteks Indonesia, glorifikasi emosi dan simbol-simbol Islam untuk kepentingan politik harus ditanggalkan, karena yang lebih penting adalah justru menguatkan peran para politisi Muslim yang memiliki cara pandang dan kehendak yang lurus untuk mengejar kemaslahatan bersama.
“Bagi bangsa Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam sila terakhir Pancasila, keadilan sosial menjadi tujuan akhir dalam bernegara. Keadilan sosial merupakan cita-cita utama yang harus menjadi tujuan politik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.” (hal. 126)
Realitas Indonesia adalah ditakdirkan memiliki wajah majemuk dengan segala potensinya. Wajah bangsa ini harus dirawat dengan saksama melalui: pemerataan sumber daya, pengelolaan pendidikan, penyediaan lapangan kerja, dan penjaminan hak-hak dasar. Hal-hal seperti ini tidak perlu lagi diorkestrasi dengan jargon-jargon agama.
“Itulah agama, menjadi sumber nilai untuk memajukan bangsa. Semangat berislam secara substantif inilah yang harus mewarnai setiap gerak berbangsa dan bernegara kita.” (hal. 128)
Sumber : http://rimanews.com