JAKARTA, – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ace Hasan Syadzily menyatakan, pendanaan partai politik melalui anggaran negara merupakan langkah penting untuk memperkuat kualitas demokrasi di Indonesia. Menurut dia, partai politik sebagai pilar demokrasi membutuhkan dukungan negara agar sistem kaderisasi dan meritokrasi dapat berjalan dengan baik. “Penguatan partai politik melalui pemberian dana bagi partai politik saya kira itu merupakan sebuah kebutuhan kita,” kata Ace di Kantor Lemhannas, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Ace menyampaikan bahwa Lemhannas saat ini tengah mengkaji bagaimana meningkatkan kualitas demokrasi nasional.
“Bagi kami, partai politik harus menjadi pilar demokrasi dan karena itu membangun kemandirian partai politik juga sebuah keharusan, sehingga proses kaderisasi bangsa bisa berjalan dengan baik,” kata dia. Politikus Partai Golkar ini mengatakan, Lemhannas belum membahas angka yang ideal soal bantuan negara untuk partai politik. Namun, ia menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merekomendasikan angka Rp 10.000 per suara.
“KPK sendiri kan sudah mengeluarkan bahwa idealnya, idealnya itu Rp 10.000 per suara dari masing-masing suara partai politik,” ucap Ace. “Kami di Lemhannas belum pada level nilai tersebut, karena tentu sekali lagi kita harus kembalikan kepada kekuatan fiskal negara,” imbuh dia. Saat ini, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018, dana bantuan parpol dari APBN sebesar Rp 1.000 per suara. Namun, di beberapa daerah, besarannya bervariasi tergantung kemampuan fiskal masing-masing.
Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengusulkan agar partai politik diberikan dana besar dari APBN agar tidak ada lagi korupsi yang menyangkut partai politik atau proses politik. “KPK sudah beberapa kali memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memberikan dana yang besar bagi partai politik,” kata Fitroh dalam webinar yang ditayangkan di kanal YouTube KPK pada 15 Mei 2025. Fitroh mengatakan, penyebab utama dari korupsi adalah mahalnya sistem politik untuk menjadi pejabat, baik dari tingkat desa hingga presiden.
Sebab, mengikuti kontestasi politik untuk menduduki jabatan tertentu pasti mengeluarkan modal besar. Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan memiliki pemodal untuk membiayai kontestasi politik. “Nah, timbal baliknya apa? Yang sering terjadi di kasus korupsi timbal baliknya ketika menduduki jabatan tentu akan memberikan kemudahan bagi para pemodal ini untuk menjadi pelaksana kegiatan proyek-proyek di daerah, ini tidak bisa dipungkiri, sering terjadi,” ujar Fitroh.
Sumber: kompas.com