Oleh: Ace Hasan Syadzily
(Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional/Lemhannas RI)
Pertemuan Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perdamaian Gaza telah berlangsung di Mesir, 13 Oktober 2025, merupakan babak baru upaya penyelesaian konflik antara Palestina – Israel yang hingga saat ini masih masalah dunia. Tak kurang dari 20 Pemimpin Dunia berkumpul membahas upaya penyelesaian damai dalam genosida rakyat Gaza Palestina.
Sebelumnya, dalam Sidang Umum PBB pada September 2025 yang lalu, Pidato Presiden Prabowo Subianto di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, dengan menggelegar menyuarakan sikap Indonesia atas kemerdekaan Palestina. Pidato yang mengulang sejarah kembali sikap Indonesia yang menyuarakan ketidakadilan global akibat imprealisme dan kolonialisme Barat yang pernah disuarakan Presiden Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia.
Presiden Prabowo telah menunjukan pandangannya sebagai seorang pemimpin Indonesia yang berdiri di atas landasan semangat konstitusi negara kita yang tidak boleh ada kolonialisme di muka bumi ini. Kekejian Israel harus dihentikan dan harus ada solusi damai untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Dengan menceritakan pengalaman Indonesia yang mengalami kolonialisme Barat, Presiden Prabowo ingin mengatakan bahwa penjajahan itu sangat tidak manusiawi dan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.
Dengan gaya pidato yang khas, seorang orator dan kemampuan bahasa Inggris yang tinggi, pidato Presiden Prabowo mendapatkan pujian dari berbagai kalangan, terutama para pemimpin dunia.
Salah satunya Presiden Trump yang mengatakan: “You too, my friend. A great speech. You did a great job banging on that table. You did a great job”. Padahal, secara argumen terkait dengan Palestina-Israel, Pidato Presiden Trump & Presiden Prabowo jelas berbeda.
Kembali dalam pertemuan KTT Pemimpin Dunia di Sharm El-Syeikh, Mesir, Presiden Trump memuji Presiden Prabowo dengan sebutan “increadible Man, seorang yang luar biasa”, sebuah pujian yang tidak disampaikan pada pemimpin dunia lainnya di forum itu.
Pertemuan ini membuka babak baru konflik Israel-Palestina yang telah mengorbankan tak kurang dari 68.000 warga sipil, termasuk masuk perempuan dan anak-anak Palestina. Sebuah kekejian yang nyata yang dilakukan Israel yang menjadikan Gaza sebagai penjara terluas dan terpanjang di dunia. Melalui pertemuan itu, penghentian serangan kepada rakyat Gaza dihentikan Israel.
Rakyat Gaza sudah dapat kembali ke tanah kelahiran mereka yang porak poranda dan yang tertinggal hanya puing-puing bangunan yang hancur. Tapi bagi rakyat Gaza, lebih baik tanah itu tetap mereka kuasai. Kecintaan terhadap tanah air jauh di atas segalanya. Tanah air harus dipertahankan walaupun nyawa taruhannya.
Presiden Prabowo yang selalu lantang menyuarakan kemerdekaan Palestina dalam fora internasional dan dalam berbagai pertemuan bilateral dengan para pemimpin dunia. Upaya tersebut semakin mendapatkan dukungan internasional dan ditunjukkan dengan dukungan yang besar dari 157 negara, termasuk negara-negara besar seperti Prancis, Inggris, Australia, Kanada dan Portugal, yang pada bulan September 2025, pertama kali negara-negara tersebut mengakui kemerdekaan Palestina.
Diplomasi Presiden Prabowo yang dilakukannya selama satu tahun menjadi Presiden Republik Indonesia telah menunjukan kepiawaiannya dalam mengembalikan diplomasi Indonesia yang dikenal dari sebagai pemimpin negara-negara non-blok. Apa yang dilakukannya tentu bertujuan untuk kepentingan nasional kita.
Bergabungnya Indonesia dalam BRICS, sebuah aliansi negara-negara yang Brazil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, semakin mempertegas bahwa Indonesia merupakan negara yang bisa bersahabat dengan negara manapun. Aliansi ini dapat memperkuat kerjasama dan memperluas perdagangan Indonesia di tengah kebijakan negara lain yang melakukan penerapan tarif yang mengganggu neraca perdagangan internasional kita.
Lebih dari itu, Presiden Prabowo telah berusaha untuk kembali memperkuat diplomasi multilalteral di tengah kecenderungan hubungan internasional yang realis. Sebuah kecenderungan tata hubungan internasional yang multipolar dan persaingan antar negara, terutama negara-negara besar dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia dan Tiongkok.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo kerap menyampaikan teori Thucydides, seorang ahli strategi Yunani, yang menyatakan “the strong do what they can and the weak suffer what they must” (yang kuat akan melakukan apa saja yang diinginkan, dan yang lemah akan menderita dengan kelemahannya). Kecenderungan dalam hubungan internasional saat ini mengarah pada realitas doktrin itu.
Namun, Presiden Prabowo dalam pidatonya di Sidang Umum PBB yang lalu menegaskan “we must reject this doktrine. The UN exists to reject this doctrine”. PBB harus menolak doktrin Thucydides ini. Dengan kata lain, dunia harus mendorong kerjasama multilateralisme yang mendorong perdamaian, saling menghargai dan menghormati, di atas prinsip-prinsip kemanusiaan. Dengan demikian, situasi geopolitik akan mendorong terwujudnya kesejahteraan.
























