Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tubagus Ace Hasan Syadzily mengingatkan pentingnya perhatian serius pemerintah dan negara dalam mengurus berbagai persoalan anak di masyarakat saat ini.
Pria yang akrab disapa Kang Ace menilai negara perlu hadir agar seluruh anak di Indonesia, termasuk di Jawa Barat, dapat memperoleh perlakuan dan perlindungan yang memadai.
“Ada beberapa problematika perempuan dan anak di Jabar yang harus menjadi bahan perhatian bersama. Salah satunya adalah soal perkawinan usia dini di bawah 18 tahun yang masih cukup marak,” kata Ace dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/5/2023).
Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber dalam Diskusi Publik ‘Perlindungan Anak di Masa Darurat’ Program Kemitraan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Komisi VIII DPR RI di Sapadia Hotel Ciwidey Kabupaten Bandung, Sabtu (13/5).
Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Barat ini menjelaskan berdasarkan data yang dimilikinya, perkawinan usia anak di Jabar selama 2020 mencapai 9.821 perkawinan.
“Pada tahun 2021, sebanyak 12 dari 100 anak atau 12% menikah dini atau di bawah 18 tahun. Jabar menempati urutan kedua tertinggi di Indonesia setelah Kalimantan Selatan,” paparnya.
Sementara pada tahun 2022, kata Ace, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat mencatat adanya pengajuan dispensasi pernikahan dini sebanyak 8.607. Jumlah ini terdiri dari 4.297 perempuan dan 4.310 laki-laki.
“Permasalahan lain terkait anak dan perempuan di Jabar adalah munculnya anak yatim dan yatim piatu yang orang tuanya meninggal akibat COVID-19, serta angka kematian bayi/anak yang masih tinggi,” ungkapnya.
Ace pun menyayangkan masih tingginya persoalan anak di masyarakat. Padahal, katanya, beberapa regulasi telah mengatur terkait permasalahan perlindungan perempuan dan anak itu, di antaranya Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (1) yang menyatakan ‘setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi’, dan ‘Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara’.
“Kemudian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” jelasnya.
Ace menjelaskan perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Melalui Undang-Undang ini, anak juga berhak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Ia menambahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahkan lebih rinci mengatur bagaimana negara harus hadir dalam upaya memberikan perlindungan anak dan perempuan tersebut.
“Kami di DPR saat ini bahkan sedang menyusun RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak,” ucapnya.
Di hadapan ratusan peserta, Ace juga menjelaskan beberapa hal yang menjadi kewajiban negara terhadap anak. Pertama, sesuai dengan UU Perlindungan Anak pasal 21, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental.
“Kedua negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak, dan ketiga pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak,” sambungnya.
Kemudian, lanjut Ace, pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak di daerah.
“Dengan kata lain pemerintah daerah harus berupaya membangun kabupaten/kota layak anak,” tutupnya.
Sumber:detik.com