Oleh: Ace Hasan Syadzily – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) RI
JAKARTA, – Dunia hari ini berada pada pusaran arus perubahan yang amat cepat dan kompleks. Situasi geopolitik dunia yang diwarnai persaingan kekuatan besar bukan sekadar berwujud perlombaan senjata atau perebutan pengaruh politik, tetapi juga mencakup kompetisi sumber daya strategis, akses energi, pangan, dan teknologi mutakhir.
Krisis iklim yang kian nyata menambah dimensi ancaman baru, sementara disrupsi teknologi, terutama kecerdasan buatan dan perang siber, mengguncang tatanan internasional dan tentu berdampak pada masyarakat pada akar rumput karena dipastikan saat ini .
Perang informasi menjadi senjata utama dalam memengaruhi opini publik, menggerus kebenaran, dan menciptakan polarisasi yang mendalam.
Fenomena globalisasi yang awalnya diyakini membawa integrasi, perdamaian, dan kemajuan, kini justru melahirkan fragmentasi sosial, intoleransi, bahkan ekstremisme transnasional yang bergerak lintas batas negara, memanfaatkan jaringan digital dan kerentanan sosial.
Salah satu contoh yang nilai luhur yang mendarah daging dalam masyarakat Sunda yang hingga saat ini merupakan terhadap kearifan yang harus terus dijaga adalah prinsip silih asah, silih asuh dan silih asih.
Filosofi ini mengajarkan pentingnya saling mengasah, yang berarti berbagi ilmu pengetahuan dan keterampilan agar dapat meningkatkan kualitas diri dan orang lain agar lebih baik.
Saling mengasihi, artinya dalam kehidupan sosial kita dituntut untuk menebarkan kasih sayang antar sesama agar tercipta harmoni.
Sementara saling mengasuh, kita dituntut untuk saling membina dan mengayomi antara satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai inilah yang akan mendorong masyarakat Sunda untuk hidup rukun dan harmonis.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai luhur warisan kearifan lokal ini tergerus dan terlupakan.
Proses pendidikan nilai dan karakter kerapkali tidak menyentuh secara holistik terhadap internalisasi nilai-nilai dalam praktek kehidupan sosial masyarakat kita.
Ketahanan komunitas yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal tidak lagi menjadi tradisi yang diajarkan, baik dalam bangku pendidikan maupun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Komunitas dalam masyarakat tercerai berai dengan imaginasi nilai yang didapatkan secara bebas, terutama dalam ruang digital yang ditafsirkan sendiri dan tidak disertai keteladanan dalam komunitas itu.
Sehingga komunitas itu mudah tercerai-berai oleh provokasi ekstremisme, fragmentasi dan polarisasi sosial.
Dalam konteks kekerasan, di tengah derasnya arus digitalisasi, propaganda radikal terbukti mampu menjangkau individu, bahkan mencetak “lone wolf terrorism” yang berbahaya.
Fenomena ini merongrong kepercayaan publik terhadap merenggangnya kohesivitas sosial dalam suatu masyarakat.
Fenomena polarisasi, fragmentasi dan kekerasan banyak dinilai sebagai pengaruh dan dampak dari penggunaan teknologi informasi yang salah kaprah.
Disrupsi teknologi digunakan menjadi instrumen bagi meluasnya jaringan ekstremisme kekerasan yang melintasi batas negara dan komunitas. Bahkan memasuki ruang personal yang sulit untuk dikendalikan.
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Center for Study and Religion Center (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, 30 Oktober 2025, saya menyampaikan pentingnya kita mendorong kontra narasi terhadap polarisasi, fragmentasi dan kekerasan yang berbasis komunitas.
Tentu akar masalahnya tidaklah bersifat tunggal. Namun, saya menilai bahwa terutama masalah kekerasan tidak boleh dilihat hanya sebagai permasalahan teologis atau ideologis yang sempit.
Ia lahir dari akumulasi ketidakadilan sosial yang dibiarkan membusuk, eksklusi politik yang menyingkirkan kelompok tertentu dari ruang partisipasi, serta ketimpangan ekonomi yang melebar antara pusat dan pinggiran.
Narasi global yang dimanipulasi aktor-aktor non-negara, baik jaringan teroris maupun pihak asing yang berkepentingan, memperkuat daya rusak ekstremisme.
Inilah wajah ancaman non-tradisional yang membaur dengan dimensi tradisional geopolitik, membentuk lingkungan strategis yang tidak pasti.
Bagi Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan rumah bagi ratusan etnis serta ratusan juta umat beragama, menjaga ketahanan nasional dari ancaman ekstremisme merupakan prasyarat mutlak bagi kokohnya kebangsaan kita.
Bila kita lengah, maka bukan saja persatuan bangsa yang terancam, melainkan juga kedaulatan dan kehormatan kita di mata dunia. Sebaliknya, bila kita tangguh dalam menghadapi badai geopolitik dan ekstremisme transnasional, maka Indonesia akan berdiri kokoh sebagai mercusuar perdamaian, pusat toleransi, dan pemimpin moral dunia yang dihormati.
Salah satu strategi yang harus kita dorong adalah memperkuat ketahanan komunitas. Ketahanan komunitas adalah fondasi ketahanan nasional yang tak tergantikan, karena ia mencerminkan kekuatan sejati suatu bangsa dalam menghadapi krisis. memperkuat-ketahanan-komunitas
Sebuah komunitas yang resilien tidak hanya mampu bertahan ketika diterpa badai persoalan, melainkan juga beradaptasi secara kreatif dan bangkit lebih kuat dengan semangat kebersamaan.
Ketahanan komunitas berfungsi sebagai benteng lapis pertama yang melindungi masyarakat dari penetrasi ideologi kekerasan yang berusaha merusak kohesi sosial.
Ketika lapisan ini rapuh, maka kerentanan bangsa akan semakin terbuka, dan ketahanan nasional pun terancam runtuh dari dalam.
Kita memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang kaya untuk memperkuat ketahanan komunitas tersebut. Komunitas di sini, bukan semata-mata aspek kewilayahan seperti daerah, tetapi juga civil society berbasis keagamaan, budaya, pendidikan, dan kelompok strategis yang berbasis pada masyarakat.
Komunitas-komunitas ini berakar pada tradisi dan memiliki kearifan lokal untuk memperkuat kohesi sosial dalam komunitasnya.
Kearifan lokal dalam komunitas yang menjadi warisan budaya yang positif bagi kelompok komunitasnya, bukan hanya menciptakan harmoni sosial dalam menjaga relasi yang guyub dalam masyarakat, tetapi juga menciptakan keselarasan dengan lingkungan alam sekitarnya.
Semangat gotong royong yang sudah menjadi spirit dalam kehidupan sosial masyarakat merupakan nilai luhur yang telah diwariskan secara temurun.
Sebagai sebuah bangsa, kita telah menyepakati bahwa filosofi berbangsa dan bernegara harus berlandaskan pada empat konsensus kebangsaan.
Keempat konsensus ini adalah jangkar identitas kolektif bangsa, yang mampu membimbing kita dalam membangun kontra narasi yang tangguh terhadap paham intoleransi, radikalisme, dan kekerasan.
Pancasila merupakan benteng pertama. Nilai Ketuhanan yang Maha Esa menegaskan bahwa Indonesia berdiri di atas fondasi spiritualitas yang luhur, mengakui kebebasan setiap pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya, dan menolak klaim kebenaran tunggal yang menyingkirkan yang lain.
Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab menolak segala bentuk kekerasan yang mencederai martabat manusia. Nilai Persatuan Indonesia menjadi perisai dari fragmentasi identitas yang hendak diadu-domba.
Nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan menegaskan bahwa keputusan politik harus dilandasi musyawarah, bukan paksaan.
Nilai Keadilan sosial mengingatkan bahwa narasi kebangsaan harus dibangun di atas keadilan yang merata, agar tidak memberi ruang bagi radikalisasi yang lahir dari jurang ketidakadilan.
Konstitusi UUD 1945 memperkuat pilar ini dengan menegaskan perlindungan hak asasi manusia, kebebasan beragama, serta kewajiban negara menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam perspektif konstitusional, setiap bentuk ekstremisme yang mengingkari demokrasi, menolak supremasi hukum, atau mempromosikan kekerasan, merupakan pengkhianatan terhadap jiwa UUD 1945. Maka, menegakkan konstitusi berarti sekaligus membungkam narasi ekstremisme.
Selanjutnya, NKRI adalah wujud nyata dari sumpah sejarah kita untuk bersatu sebagai bangsa yang tidak mudah dipecah belah. Indonesia bukan negara agama yang menyingkirkan keberagaman, bukan pula federasi longgar yang rawan terpecah karena sentimen sempit.
NKRI harga mati adalah benteng ideologis yang melindungi bangsa dari upaya disintegrasi yang kerap diselubungi jargon ekstremisme. Dalam bingkai NKRI, keutuhan wilayah, persatuan politik, dan kedaulatan bangsa menjadi komitmen yang tak tergoyahkan.
Bhinneka Tunggal Ika akhirnya menutup pilar dengan pesannya yang agung: keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan.
Di tengah derasnya arus globalisasi, perbedaan suku, agama, budaya, dan bahasa justru menjadi modal besar membangun daya saing bangsa.
Kontra narasi terhadap ekstremisme harus menegaskan bahwa pluralitas adalah anugerah yang memperkaya peradaban Indonesia, bukan celah untuk perpecahan.
Keempat konsensus ini harus diinternalisasi secara sistematis di ruang-ruang pendidikan, di universitas, sekolah, organisasi masyarakat, hingga komunitas digital.
Generasi muda harus dibekali pemahaman bahwa jalan ekstremisme bukanlah jalan peradaban, melainkan jalan kehancuran.
Sebaliknya, setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah jalan mulia untuk menjaga kehormatan bangsa, mengawal persatuan, dan menuntun Indonesia menuju cita-cita besar sebagai negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur.
Dengan menjadikan Empat Konsensus Dasar sebagai pilar kontra narasi, kita tidak hanya menolak ekstremisme, tetapi juga mengukir Indonesia sebagai mercusuar toleransi dan perdamaian dunia.
Dalam kaitan mendorong strategi kontra narasi terhadap kekerasan, kita tidak boleh setengah hati. Ia harus bersifat komprehensif, holistik, dan integratif, merangkul seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Edukasi yang berorientasi pada pembentukan karakter kebangsaan, literasi digital yang membekali generasi muda dengan kemampuan menyaring informasi, pemberdayaan ekonomi yang menutup ruang ketidakadilan, dialog antaragama yang memperkuat toleransi, hingga pendekatan keamanan yang proporsional, semuanya harus bergerak selaras.
Ketahanan komunitas yang kokoh akan menjadikan bangsa Indonesia bukan hanya mampu menolak paham kekerasan, tetapi juga tampil sebagai teladan dunia dalam membangun perdamaian, toleransi, dan persaudaraan sejati.
























