Bandung – Melihat berbagai problem yang terjadi di masyarakat saat pandemi Covid-19 melanda secara global, kehadiran Undang-undang (UU) Perlindungan Yatim Piatu mutlak sangat dibutuhkan,
“Belajar dari Pandemi Covid-19, kita memang membutuhkan sebuah UU perlindungan anak yatim dan yatim piatu sangat diperlukan. Kita bisa melihat saat Covid terjadi siapa yang memberikan perhatian terhadap mereka anak-anak yatim dan yatim piatu,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI, Tubagus Ace Hasan Syadzily, saat menjadi narasumber pada kegiatan Advokasi dan Desiminasi Perlindungan Anak di Masa Darurat dan Pasca Pandemi Covid-19 di Sutanraja Hotel & Convention Center Soreang Bandung, Sabtu (21/5/2022).
Disebutkan Tubagus Ace Hasan Syadzily yang kerap disapa akrab Kang Ace, Komisi VIII DPR-RI terus berupaya agar negara selalu memberikan perhatian dan perlindungan serius terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar,l termasuk anak yatim dan yatim piatu.
“Anak-anak yatim dan yatim piatu adalah aset bangsa. Sudah sepantasnya mereka mendapat perlindungan sejak dini melalui dukungan regulasi yang memadai,” sambung Kang Ace yang juga Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Barat itu.
Menurut anggota DPR-RI yang berasal dari Dapil Kabupaten Bandung dan Bandung Barat ini, selama pandemi Covid-19 berlangsung dalam dua tahun terakhir terdapat beberapa kasus permasalahan sosial di Jawa Barat, antara lain, jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) meningkat. Dimana istri dan anak umumnya menjadi korban.
“Kedua banyak anak yatim dan yatim piatu yang orang tuanya meninggal akibat Covid 19. Ketiga selama pandemi, anak atau siswa merasa mendapat tekanan dari orang tua, secara psikis, anak merasa cepat bosan dan ada potensi loss learning,” sambung Kang Ace.
Dan terakhir, kata Kang Ace, perkawinan usia anak di Jabar selama 2020 sebanyak 9.821 perkawinan. Pada tahun 2021, sebanyak 12 dari 100 anak atau 12% menikah dini atau di bawah 18 tahun.
“Jabar menempati urutan kedua tertinggi di Indonesia setelah Kalimantan Selatan,” papar Kang Ace yang saat itu menyampaikan materi Perlindungan Anak di Masa Darurat dan Masa Darurat dan Pasca Pandemi Perspektif UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Dalam kesempatan itu Kang Ace menyambut upaya yang telah dilakukan praktisi dan aktivis perlindungan anak di Kabupaten Bandung. Bagi Komisi VIII perlindungan anak adalah sesuatu yang sangat penting dan fundamental karena anak termasuk anak yatim dan yatim piatu adalah investasi bagi kemajuan bangsa di masa depan.
“Usia dini kita sangat besar karena tingkat pertumbuhan mortalitas anak cukup tinggi. Sehinggga tentu saja melahirkan berbagai masalah di dalamnya, sebab itu negara harus hadir dalam memberikan perlindungan terhadap mereka,” sebut Kang Ace.
Negara dan Anak
Apa saja kewajiban Negara terhadap anak?, Kang Ace memaparkan, bahwa ’dalam UU Perlindungan Anak, Pasal 21 disebutkan bahwa Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Kemudian Negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak. Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak.
“Selanjutnya Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah dengan berupaya membangun kabupaten/kota layak Anak,” kata dia seraya mengutip quote Khalil Gibran bahwa Anak kita bukan anak kita tapi anak zamannya.
Dimana perlindungan anak sesuai UU, kata Kang Ace, bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
“Problem anak diera digital saat ini memunculkan berbagai permasalahan baru seperti soal lahirnya konten-konten yang dibuat anak yang tidak semestinya, seperti konten kekerasan, pornografi dan lain-lain,” jelasnya.
Jangan sampai, kata Kang Ace, kemudian melahirkan generasi yang terputus atau lost generation, jika persoalan ini tidak mendapatkan perhatian serius dari semua pihak terutama negara.
“Dalam kondisi yang diakibatkan pandemi covid-19, jika anak-anak yang sedang tumbuh kembang tidak terfasilitasi pendidikannya dengan baik, fenomena lost generation akan benar-benar bisa menjadi kenyataan,” katanya.
Menyinggung Kasus Hery Wirawan (HW) yang telah dihukum akibat perlakuannya yang melecehkan dan terbukti melakukan eksploitasi terhadap anak dengan menggunakan jargon agama sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, pihaknya semakin meyakini bahwa berbagai regulasi perlindungan anak semakin dibutuhkan.
“Kasus ini telah memukul kita semua. Korban HW harus menjadi perhatian kita semua dan para korban termasuk anak-anak dalam peristiwa itu kiranya harus mendapatkan perlindungan,” paparnya.
Sementara itu pembicara lain Dadang Sukmawijaya, SH, MH dari Lembaga Advokasi Hak Anak, mengatakan, proteksi terhadap perkembangan tehnologi yang bisa memicu kekerasan dan pengaruh negatif terhadap anak harus menjadi perhatian negara pula.
“Kami mendukung upaya yang dilakukan Komisi VIII DPR-RI yang telah berupaya melahirkan berbagai regulasi dalam rangka perlindungan terhadap anak, termasuk upaya yang dilakukan dalam memberikan perlindungan terhadap anak yatim dan yatim piatu,” ujarnya.***