Ngora, nyunda, nyantri, nyakola. Kata-kata itu bukanlah sebuah kata benda, melainkan kata sifat. Keempat sifat tersebut jelas melekat dalam benak pikiran dan perilaku tokoh bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita selami satu-persatu maknanya secara singkat!
Ngora. Bermakna energik, bergerak lincah, gesit, cepat, responsif, tanggap, menatap ke depan (visioner), peka, dan komitmen terhadap perubahan sosial. Ngora berarti pula bersahabat, akrab, gaul, adaptif, dekat, dan kolaboratif.
Ngora adalah sebuah karakter dinamis: menyelusup relung-relung waktu, menembus situasi dan segala cuaca; suka tantangan, antusias (bergairah untuk maju), berdaya tahan (endurance), dan pantang menyerah.
Di benak generasi anu-ngarora, gelora idealisme dan kemerdekaan ide acap kali selalu membara dan menghiasi setiap gerak langkahnya. Tak ada kata mentok untuk makhluk yang bernama anak-anak muda!
Terus bermimpi, berkarya, dan berjuang. Itulah karakter golongan ngora. Maka, tak aneh, revolusi kemerdekaan—bahkan revolusi peradaban dunia—selalu dimotori anak-anak muda.
Nyunda. Berarti mengakar dengan tradisi lokal, tempat kita berasal, asal-usul, tempat kita dilahirkan dan dibesarkan: tanah pasundan berikut artefak-artefak budayanya yang begitu kaya dengan nilai-nilai luhur, kebajikan, dan kearifan; tatakrama, kesopanan, dan kesederhaan.
Nyunda berarti orang yang tidak lupa diri terhadap akar-budayanya; selalu menyerap kearifan lokal sebagai lokus tempat ia berpijak. Demi menatap masa depan bangsa.
Namun nyunda bukan berarti fanatik-ekstrem terhadap tradisi sendiri atau berpaham kesukuan (ashabiyyah), melainkan tentu berwawasan kebangsaaan. Ya, nyunda bermakna selalu berpikir terbuka, toleran, menghargai perbedaan dan keragaman serta berwawasan global.
Nyantri. Berarti dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi Islam. Lebih khusus lagi: dalam tradisi dan lingkungan pesantren. Nyantri di sini bukan sekadar bermakna simbolik, tapi jauh dari itu menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sesuatu yang hidup, tak terpisahkan darinya, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun politik.
Bahkan lebih dari itu, nyantri merupakan karakter orang yang mengerti dan menyelami ilmu-ilmu agama serta berusaha mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dialah sosok santri par-excellece. Ajengan pisan!
Nah, budaya pasundan, terkenal sangat religius dan santri. Karena itu, sosok yang nyantri sungguh sunda pisan! Klop! Sapagodos!
Nyakola. Berarti terdidik secara modern, mulai dari jenjang SD hingga perguruan tinggi; dari jenjang S1 hingga S3. Well-educated. Nyakola berarti produk zaman modern: berilmu, berpikiran terbuka, membuka cakrawala, dan berwawasan luas/global; mampu berpikir akademik dan menyelami persoalan bangsa sekaligus berusaha memecahkannya; bahkan berani menaklukan dunia sekaligus melayani dunia.
Nyakola berarti orang yang berilmu (umum), dan dengan ilmunya itu secara berani mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh risiko. Memegang prinsip dengan teguh. Tanpa orang-orang yang punya karakter nyakola, negara atau bangsa ini sulit terurus dan tertata dengan benar, baik, modern, dan profesional.
Karena itu, orang-orang nyakola merupakan kebutuhan zaman; kebututuhan bangsa ini, sekarang maupun ke depan. Semakin banyak orang yang nyakola, semakin besar dan cepat pula potensi bangsa ini untuk maju.
Nah, dengan karakter ngora, nyunda, nyantri, nyakola tersebut, tak berlebihan, jika sosok Kang Haji Ace merupakan tokoh politisi muda nasional yang santri sekaligus terdidik, bukan hanya menjadi kebanggaan warga sunda, melainkan pula masyarakat Indonesia. Kita bangga ada tokoh sunda yang nyantri dan nyakola bisa mewarnai kancah perpolitikan nasional.