Tanggal 24 September 2019 yang lalu, DPR RI telah mensahkan UU Pesantren. Pengesahan UU Pesantren ini luput dari perhatian masyarakat di tengah gelombang demontrasi mahasiswa yang mempersoalkan pengesahan revisi UU KPK dan RUU kontroversial lainnya. Alhamdulillah UU yang ditunggu-tunggu kalangan Pesantren ini telah disetujui dalam Rapat Paripurna oleh seluruh Fraksi di DPR RI. Bisa jadi UU Pesantren ini merupakan kado istimewa bagi para Santri yang merayakannya pada 22 Oktober 2019 yang lalu.
Sebagian kalangan mempertanyakan tentang apakah urgensi pengaturan Pesantren dalam UU tersendiri. Bukankah dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sudah cukup mengatur tentang proses pembelajaran pada lembaga pendidikan tertua di negara kita ini? Apakah dengan adanya UU ini, negara akan turut campur dan melakukan kooptasi terhadap pesantren yang selama ini telah menunjukan kemandiriannya dalam kiprahnya di masyarakat?
* * *
Konsepsi Pesantren dalam UU ini, sesungguhnya bukan hanya Pesantren yang lazim kita kenal, namun juga lembaga keislaman lainnya seperti Meunasah dan Dayah di Nanggro Aceh Darussalam, Surau di Sumatera Barat, atau lembaga pendidikan keislaman lainnya yang selama ini tumbuh dan berkembang di Indonesia. Lembaga-lembaga ini, terutama Pesantren, memiliki peran historis yang panjang dalam perjalanan bangsa kita.
Pesantren telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang. Para Kyai, Tuan Guru, Anre Garuttta, Ajengan, Buya, Ustadz dan lainnya, telah menujukkan perannya dalam menjaga kohesivitas sosial dalam masyarakat di berbagai sendi kehidupan. Dalam konteks sosiologis-antropologis, Pesantren — meminjam bahasanya Almarhum KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur– merupakan sub-kultur dalam sistem kebudayaan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, memahami konsepsi pesantren, tidak hanya cukup hanya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan kitab kuning, namun juga sebagai lembaga dakwah yang menyemai nilai-nilai keislaman yang khas ke-Indonesia-an, dan melakukan pemberdayaan masyarakat.
Dengan demikian, memahami pesantren tidak cukup hanya dikonsepsikan semata-mata sebagai lembaga pendidikan, namun juga merupakan lembaga yang selama ini telah bergerak untuk melakukan dakwah Islam dan pengembangan serta pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan itu, dalam UU Pesantren ini ditegaskan pesantren merupakan institusi yang bertujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatanlilalamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Konsepsi di atas sesungguhnya menegaskan Pesantren yang telah membuktikan perannya sebagai soko guru bagi proses pembentukan karakter bangsa dan melakukan persemaian nilai-nilai toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya yang terjalin berkelindan dengan kecintaan kepada negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran dan kiprah pesantren yang sedemikian besar ini, sudah seharusnya mendapatkan pengakuan (rekognisi) dari negara.
Rekognisi sekaligus afirmasi negara terhadap pesantren merupakan bentuk perhatian dan kepedulian yang serius dari negara untuk menjaga dan memelihara keberlanjutannya yang positif dalam dalam bidang pendidikan, dakwah Islam rahmah Lill alamin dan pemberdayaan masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan yang selama ini menjadi garapan pesantren.
Dengan demikian, bersama Pesantren sebagai bagian dari masyarakat madani (civil society), negara dapat mendorong inisiatif dan partisipasi masayarakat untuk mewujudkan kemashlatan bersama. Dengan doktrin yang selama ini dipegang teguh kalangan Pesantren, al-muhafadatu ala qadimi al-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah (memelihara hal yang lama yang baik dan mengadopsi sesuatu yang baru yang lebih baik), sesungguhnya pesantren memiliki fleksibitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perkembangan baru.
Dalam hal fungsi pendidikan, harus diakui bahwa di beberapa pesantren yang dikenal dengan salafiyah-dinniyah yang masih menyelenggarakan pendidikan kitab kuning dan pendidikan dasar, banyak lulusannya tidak diakui ijazah-nya untuk dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. UU Pesantren ini memberikan kepastian bahwa lulusan pesantren memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga pendidikan lainnya yang sederajat.
Untuk tetap menjaga kualitas dan mutu pendidikan, pesantren memiliki kemandirian untuk menyusun kurikulum dan penjaminan mutu. Kurikulum pesantren dan penjaminan mutu pendidikan pesantren dilakukan oleh suatu institusi yang disebut dengan Dewan Masyayikh yang dipimpin seorang Kyai dan keanggotaanya terdiri dari para Kyai, Guru & Ustadz atau sebutan lainnya di pesantren tersebut. Dewan Masyayikh yang berasal dari internal pesantren itu sendiri dengan maksud untuk menjaga kemandirian pesantren.
Dari segi pendanaan, selama ini pesantren lebih mandiri sebagai institusi yang berbasis pada partispasi masyarakat. Jika mendapatkan alokasi anggaran, selama ini sangatlah terbatas, dan hanya bersumber dari Kementerian Agama yang sentralistik. Untuk itu, dalam UU Pesantren ini, ditegaskan bahwa pesantren dapat memperoleh anggaran negara dari fungsi pendidikan baik dari APBN maupun dari APBD yang selama ini tidak dapat dianggarkan karena Pesantren secara kelembagaan bukan termasuk dalam ranah pemerintah daerah.
***
Dengan disahkannya UU Pesantren diharapkan akan lebih meningkatkan kualitas pendidikan pesantren sebagai lembaga genuine Indonesia. Pesantren telah terbukti telah mencetak kader-kader bangsa dan agama yang berkarakter, berakhakul karimah, kompeten, cinta tanah air, dan tersebar di berbagai bidang di Indonesia. Tentu capaian kualitas ini harus terus ditingkatkan.
UU Pesantren telah menegaskan tentang nilai-nilai luhur yang diajarkan pesantren yang terus harus dipelihara dan dilestarikan. Dengan adanya UU Pesantren ini kita dapat menjaga dari kelompok-kelompok yang ingin mengubah orientasi nilai pesantren menjadi radikal, anti-negara dan terorisme.
Nilai-nilai semacam ini jelas berbeda dengan apa yang telah dicontohkan dan diperjuangkan para ulama terdahulu yang diajarkan di pesantren. UU Pesantren ini sebagai ikhtiar untuk semakin menegaskan tentang peran pesantren sebagai institusi Islam yang khas Indonesia dan menjadi model bagi dunia tentang persemaian peradaban Islam rahmatan lil alamin. Wallahu ‘alam bi showab.