Dalam peringatan Hari Konstitusi 18 Agustus 2019 yang lalu, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyampaikan rekomendasi MPR periode 2014-2019 kepada MPR RI periode berikutnya untuk melakukan amandemen Kontitusi. Salah satu materi yang akan diamandemen itu menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Wacana menghidupkan GBHN ini kembali mencuat melalui pandangan beberapa partai politik. Alasan utama menghidupkan kembali GBHN dalam konstitusi kita adalah untuk menjamin kesinambungan pelaksanaan pembangunan Indonesia.
Namun, apakah dengan menghidupkan kembali GBHN itu amandemen UUD 1945 ini terbatas hanya pada GBHN itu sendiri? Apakah amandemen itu tidak akan menyasar pada kelembagaan MPR itu sendiri sebagai lembaga yang menyusun GBHN? Apakah MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara?
Wacana menghidupkan kembali GBHN akan menyisakan pertanyaan mendasar dalam kaitannya dengan sistem presidensialisme yang kita terapkan saat ini. Dimana letak kedudukan GBHN dalam lanskap sistem presidensialisme yang Presidennya dipilih langsung rakyat? Lalu dimana letak visi dan misi Presiden yang dipilih rakyat dikaitkan dengan GBHN yang disusun MPR?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk meluruskan cara pandang kita terhadap kedudukan GBHN dan MPR serta Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam peran dan fungsinya masing-masing. Kita harus mendudukan ketiganya dalam konteks filosofis, yuridis dan peran dalam konteks negara yang demokratis ini.
GBHN & MPR
Lazim kita ketahui bagi yang hidup di era Orde Baru kedudukan GBHN sangat strategis dan penting dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan negara saat itu. GBHN merupakan haluan negara yang menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahannya di berbagai bidang.
Bahkan di era itu, kita mengenal istilah Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Repelita ini menjadi acuan utama bagi jalannya Pemerintahan Orde Baru dalam menetapkan program kerja setiap lembaga negara dan departemen (kini namanya Kementerian) dalam pembangunan. Secara filosofis, paradigma tahapan pembangunan ini berwatak developmentalism dimana kemajuan suatu negara untuk menuju modernisasi.
Proses perencanaan pada era Repelita selalu didasarkan kepada GBHN yang dihasilkan oleh MPR yang bersidang lima tahun sekali. Setiap kebijakan harus merujuk kepada GBHN sebagai cantolan hukum dalam menjalankan berbagai program pemerintahan. Setiap Departemen harus mengacu pada GBHN dalam melaksanakan program-program teknisnya.
MPR dalam sistem ketatanegaraan saat itu memiliki kewenangan yang sangat kuat karena lembaga ini merupakan lembaga tertinggi negara. Sebelum UUD 1945 mengalami amandemen, MPR merupakan cerminan dari kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) menyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Salah satu kewenangan MPR antara lain: memilih Presiden/Wakil Presiden dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Jika GBHN dihidupkan kembali dan kemudian menjadi pedoman Garis besar pembangunan dan arah Perencanaan bangsa yang mengikat setiap penyelenggara negara, maka dengan sendirinya secara kelembagaan kedudukan MPR juga akan kembali mengalami reposisi sebagai lembaga negara. Dengan adanya MPR mengeluarkan kembali GBHN, maka secara kelembagaan MPR kembali yang akan mengeluarkan Ketetapan seperti kedudukannya sebelum mengalami amandemen. MPR akan menjadi lembaga “tertinggi” yang produk hukumnya akan mengikat semua lembaga negara.
Presidensialisme Era Reformasi
Dengan konstruksi ketatanegaraan ini, jelas bahwa posisi MPR berbeda dengan era Reformasi sekarang ini dimana sistem politiknya telah mengalami perubahannya secara paradigmatik. Konstruksi ketatanegaraan saat ini menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Hal ini terejawantah dalam sistem Pemilihan Presiden secara langsung.
UUD 1945 yang telah mengalami amandemen dimana nilai-nilai konstitusi yang terkandung didalamnya menunjukan semangat yang demokratis. Hal ini tercermin dengan sistem Pemilihan presiden secara langsung. Lembaga-lembaga negara memiliki kedudukan yang sama sesuai dengan kewenangannya masing-masing, tak terkecuali MPR.
Dalam konteks eksekutif atau pemerintahan, Presiden dipilih langsung rakyat karena visi dan misi yang ditawarkannya. Kita telah melalui proses Pemilihan Presiden langsung empat kali, yaitu tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019. Rakyat memilih pasangan Capres/Cawapres dengan preferensi tawaran visi, misi dan program tersebut. Hal ini menunjukan bahwa kualitas demokrasi kita semakin mengalami kemajuan. Indonesia dikenal sebagai negara yang demokratis di dunia. Hal itu merupakan kebanggaan tersendiri.
Setiap era kepresidenan, setidaknya tercermin dari empat kali Pilpres yang sudah kita laksanakan, kita memiliki pengalaman yang menarik. Presiden SBY yang memimpin Indonesia selama dua periode memiliki konsep yang jelas mengenai arah pembangunan Indonesia, yaitu: MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Konsep ini menjadi rujukan selama Pemerintahan Presiden SBY dalam membangun bangsa.
Era Presiden Jokowi, pada periode pertama mengenallkan konsep Nawacita. Presiden Jokowi memfokuskan arah kebijakan pembangunannya yang lebh menekankan pada infrastruktur dan revolusi mental. Kita dapat merasakan bahwa tawaran program-program inilah yang membuat rakyat tertarik untuk memilih Presiden Jokowi. Pada Pilpres 2019 yang lalu, melalui kampanye yang panjang, terjadi perdebatan panas antar Capres/Cawapres tentang program yang ditawarkan. Presiden Jokowi menawarkan kepada rakyat program yang lebih menitikberatkan pada peningkatan SDM setelah sebelumnya menekankan pada infrastruktur.
Kembali kepada GBHN yang akan dihidupkan lagi, keberadaan GBHN ini sesungguhnya dapat membatasi keleluasaan Presiden untuk menawarkan visi, misi dan program yang ditawarkan langsung rakyat. Memberikan kewenangan kembali kepada MPR untuk menyusun GBHN jangan sampai mereduksi semangat kedaulatan rakyat yang tercermin dari sistem presidensialisme yang saat ini kita terapkan. Bisa jadi arah kebijakan yang disusun dalam GBHN oleh MPR yang keanggotaannya terdiri dari beragam Partai politik dan kepentingan lainnya, akan berbeda dengan keinginan rakyat yang dimandatkan kepada Presiden yang dipilihnya langsung.
Arah Pembangunan
Lalu bagaimana menjawab kekhawatiran ketiadaan arah pembangunan bangsa ini? Sebetulnya, setelah ditiadakannya GBHN, secara yuridis kita telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007. RPJPN ini merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Pelaksanaan RPJP Nasional 2005-2025 terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan.
Dalam RPJPN ini secara jelas disebutkan tentang Visi Indonesia yang mandiri, maju, adil dan sejahtera yang kemudian setiap lima tahun sekali dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), baik di tingkat Nasional maupun di tingkat daerah. RPJPM Nasional maupun daerah ini selalu mengalami pembaharuan seiring dengan penyesuaian Visi dan Misi Presiden maupun Kepala Daerah terpilih.
Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nsional (SPPN) sebagaimana diatur UU No 25 Tahun 2004 seharusnya sudah mengakomodasi adanya fragmentasi aspirasi pusat-daerah serta perbedaan aspirasi politis-populis dan teknis-teknokratis lewat proses yang mengombinasikan pendekatan top-down dan bottom-up. Dalam proses ini pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam arah kebijakan negara dilakukan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di berbagai tingkatan, baik di tingkat pusat hingga ke desa.
Dengan demikian, asumsi ketiadaan arah pembangunan bangsa ini tidak perlu menjadi kekhawatiran. Berbagai dokumen yang berisi tentang arah kebijakan pembangunan bangsa ini, antara lain RPJP Nasional, RPJ Menengah Nasional/Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) telah kita miliki. Yang perlu kita tingkatkan adalah mengefektifkan sistem perencanaan pembangunan yang telah ada dalam ruang politik yang lebih terbuka dan demokratis.
Untuk itu, menurut hemat penulis, untuk meningkatkan efektivitas arah kebijakan pembangunan setidaknya kita dapat melakukan dua hal. Pertama, meningkatkan partisipasi masyarakat untuk lebih berperan aktif dalam merumuskan dan menyusun arah kebijakan negara. Ada berbagai instrumen yang dapat digunakan agar dapat berperan aktif seperti Musrebang di berbagai tingkatan.
Kedua, di era industri 4.0 ini, kita dapat memaksimalkan pemanfaataan penggunaan teknologi informasi untuk mendorong keterlibatan masyarakat yang lebih luas. Saat ini kita sudah menerapkan e-government yang didalamnya termasuk e-planning dan e-musrenbang untuk menjangkau keterlibatan masyarakat.
Dengan demikian, apakah kita masih relevan untuk menghidupkan kembali GBHN dalam sistem politik yang lebih demokratis dan di tengah kemajuan teknologi saat ini?
Ace Hasan Syadzily : Tulisan ini merupakan pandangan Pribadi