JAKARTA – Pimpinan Komisi VIII DPR RI mengecam aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/11/2019) kemarin. Apalagi, pelaku bom bunuh diri atas nama RMN (24), masih tergolong generasi milenial. Artinya, generasi muda menjadi sasaran teroris dalam melancarkan aksinya.
“Tindakan yang sangat biadab dan perlu penanganan khusus. Teroris itu memang nyata keberadaanya.
Harus ada upaya serius dalam menangani terorisme yang berbasis pada pemahaman keagamaan yang salah,” ujar wakil ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily, saat berbincang-bincang dengan Tribunnews.com di ruang kerjanya, kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Untuk menangani terorisme, menurut dia, deradikalisasi tidak cukup dilakukan secara formalitas, berupa seminar dan pelatihan-pelatihan. Perlu cara yang lebih komprehensif, konkrit dan menyasar semua kalangan, khususnya kaum milenial.
Berikut wawancara khusus Tribunnews.com dengan wakil ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily, saat berbincang-bincang dengan Tribunnews.com di ruang kerjanya, kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (14/11/2019), terkait penanganan terorisme yang sudah menyasar generasi milenial:
Bagaimana menilai program deradikalisasi yang selama ini dijalankan. Apakah sudah mampu mengatasi radikalismendan terorisme di Indonesia?
Konsep deradikalisasi harus terus dilanjutkan dan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit dan langsung bisa menjangkau semua kalangan.
Deradikalisasi harus dilakukan secara sistematis dan menjangkau semua kalangan, khususnya kepada mereka yang gampang sekali terpapar radikalisme. Biasanya itu orang-orang yang memiliki pengetahuan keagamaan yang belum sepenuhnya mendalam.
Mereka ini gampang terpapar paham keagamaan yang salah, seperti melakukan bom bunuh diri sebagai upaya mencapai tiket ke surga. Saya kira pemahaman keagaamaan seperti itu adalah salah.
Deradikalisasi seperti apa yang harus dilakukan untuk itu?
Tidak bisa dilakukan secara formalitas saja, ya seperti melakukan seminar dan pelatihan-pelatihan.
Deradikalisasi harus bisa menjangkau semua kalangan terutama anak-anak muda yang sedang menjalani pertumbuhan secara psikologis.
Caranya?
Saya rasa sekarang ini, ada banyak instrumen yang bisa dijadikan sebagai upaya melakukan deradikalisasi.
Pertama, melibatkan organisasi-organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PGI, KWI dan organisasi keagamaan lainnya yang sudah teruji dan sudah menunjukkan satu sikap jelas untuk mengajarkan sikap toleransi beragama yang inklusif, beragama yang moderat.
Kedua, instrumennya yang harus dievaluasi. Karena proses terpaparnya orang menjadi seorang teroris itu terjadi di media sosial. Untuk itu perlu counter terhadap radikalisme atau deradikalisasi yang juga menjangkau media sosial. Kalau paham radikalisme dan ajaran keagamaan yang menyuarakan kekerasan di media sosial.
Maka sebaliknya semangat keagamaan yang inklusif, toleran, moderat juga harus dilakukan melalui media sosial juga. Jadikan media sosial sebagai instrumen untuk menyemai tentang beragama yang moderat, mengenalkan Islam rahmatan lil’alamin.
Cara-cara seperti ini menurut saya perlu ditempuh secara masif. Inilah menurut saya yang harus dilakukan secara sistematis dan masif oleh semua pihak. Selain juga alat-alat negara yakni kementerian agama dan kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Pun organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan yang suda teruji dalam menjaga NKRI juga harus dilibatkan. Jadi sekarang instrumennya harus diperluas, bukan hanya seminar dan pelatihan-pelatihan. Tapi juga deradikalisasi melalui media sosial. Yang tak kalah penting juga, harus lebih pro aktif datang ke Kampus-kampus dalam rangka menyemai tentang pemahaman keagamaan yang inklusif.
Sumber : Tribunnews.com