Ketika saya sedang membuka Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Partai Golkar Kota Sukabumi, saya tertegun diam mendapatkan kabar bahwa Guruku, Prof Azyumardi Azra telah berpulang ke Haribaan-Nya. Tetiba air mata saya berlinang, sedih dan kehilangan atas kepergian seorang intelektual dan Cendikiawan kaliber internasional yang selalu saya banggakan.
Saya kehilangan salah satu orang tua saya yang sering menjadi tempat mengadu dan berkeluh kesah semenjak saya kuliah di UIN Jakarta hingga saat ini. Beliau begitu sangat perhatian kepada anak-anak muda yang memiliki potensi. Komunikasi terakhir saya sekitar dua minggu yang lalu dengan beliau di salah satu Grup WhatApps Dewan Kehormatan/Pakar Ikatan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang saya pimpin.
Dalam WAG itu, Kak Edy demikian saya menyapanya, terlibat pembicaraan antara Prof Saiful Mujani, ahli survei politik, yang menyebut Kak Edy yang sangat berjasa menjadikannya menjadi Dosen Tetap UIN Jakarta. Saya pun menimpalinya dengan menyebut bahwa Prof Azra merupakan orang yang sangat berjasa memberikan rekomendasi bagi anak muda yang pintar dan berprestasi untuk diberikan jalan menyelesaikan pendidikan baik di dalam maupun luar negeri.
Beliau meresponnya dengan kalimat sederhana: “Terima kasih Kang TB, sudah lama kita tak jumpa”. Ternyata kalimat ini merupakan kalimat yang terakhir yang beliau sampaikan kepada saya.
Sebelum saya kuliah di UIN Jakarta, saya sudah mengenal sosok intelektual besar itu. Beliau adalah penulis yang produktif sejak masa kuliahnya. Tercatat pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat, sebuah Majalah yang didirikan Buya Hamka yang cukup populer di era orde baru dimana Abahku juga langganan majalah ini. Saya sering membaca tulisannya beliau.
Kuliah di IAIN Jakarta mengenalkan saya kepada sosok intelektual yang bersahaja ini. Lebih dekat dengan beliau saat saya turut terlibat menjadi aktivis 98. Dalam demo 1998 ke Senayan, almarhum yang waktu itu menjadi Pembantu Rektor I IAIN Jakarta, turut serta mengizinkan untuk demontrasi turun ke jalan dan ikut naik bis ke DPR RI.
Intensitas interaksi saya lebih dekat, saat saya menjadi Presiden BEM UIN Jakarta dan beliau menjadi Rektor IAIN Jakarta. Saya dan mahasiswa IAIN waktu diberikan ruang berekspresi menyampaikan pendapat yang kritis, baik isu politik nasional maupun isu internal kampus.
Di era beliau menjadi Rektor, perwakilan mahasiswa menjadi Anggota Senat Universitas. Sehingga dalam rapat-rapat Senat, suara mahasiswa selalu menjadi perhatian pihak pengambilan kebijakan kampus, misalnya soal biaya kuliah atau SPP, kualitas dosen, sarana pendukung untuk proses pembelajaran di kampus dan lain-lain. Beliau seorang yang sangat demokratis.
Dalam kegiatan BEM IAIN Jakarta saat saya memimpin, Kak Edy selalu bersedia untuk menyempatkan diri menghadiri kegiatan dialog dengan mahasiswa. Beliau tidak ada jarak dengan mahasiswa.
Selepas saya lulus dari IAIN Jakarta, saya diberikan amanah oleh Senior Ciputat, salah satunya Kak Edy untuk memegang sebuah lembaga yang fokus pada isu penguatan Civil Society di bawah lembaga Indonesian Institute for Civil Society (INCIS).
Di bawah asuhan beliau ini kami mengadakan kajian, riset dan advokasi terkait dengan tema tersebut. Beliau sangat membantu kami untuk mendapatkan dukungan bantuan keuangan dari lembaga donor. INCIS mendapatkan grant dari USAID.
Di saat saya mengelola lembaga ini, saya diberikan kesempatan untuk mengajar di IAIN yang sedang bertransformasi menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof Azyumardi mendorong saya untuk menjadi dosen tetap berstatus PNS.
Saya pun mengikuti ujian PNS walaupun akhirnya saya tidak diterima karena yang menentukan adalah Kementerian Agama RI, Kementerian yang membawahi UIN Jakarta. Tentu Kak Edy kecewa atas keputusan itu. Beliau sampaikan ke saya, soal pengangkatan dosen ini merupakan kewenangan Kementerian Agama.
Tak jadi Dosen PNS, akhirnya saya mulai aktif di Partai Golkar dan meniti karir di partai ini. Interaksi saya tetap terjaga dengan Kak Edy karena beliau dipercaya Pak Jusuf Kalla yang waktu menjadi Wapres RI dan Ketua Umum Partai Golkar untuk menepati posisi Deputi Setwapres setelah beliau tidak lagi menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta.
Harus diakui kemegahan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini merupakan buah karya Prof Azyumardi. Beliau aktif membentuk jejaring internasional untuk kebesaran UIN Jakarta. Berbagai kerjasama internasional dirintisnya sehingga UIN Jakarta berdiri megah dan menjadi pergurauan tinggi Islam terkemuka di dunia internasional.
Beliau menyampaikan: transformasi IAIN Jakarta menjadi Universitas merupakan langkah mobilitas vertikal kalangan umat Islam Indonesia untuk dapat mengakses pendidikan non-agama, seperti sains dan teknologi dan kedokteran. Beliau merintis praktek integrasi keilmuan Islam dan ilmu pengetahuan secara genuine dalam kampus UIN Jakarta ini.
Bagi saya, Kak Edy itu seperti orangtua yang mengayomi gerak langkah kami. Kami rutin bersilaturahmi ke rumah Kak Edy. Saya selalu membawa istri dan anak-anak saya ke rumahnya. Darinya terpancar kesejukan dan kebijaksanaan.
Saya selalu meminta kepada almarhum waktu hanya untuk sekedar minta saran dan meng-update perkembangan mutakhir politik Indonesia.
Saya amat kehilangan tokoh bangsa dan Guru bangsa yang selalu saya ikuti pikiran dan pandangannya yang cerdas dan kritis. Beliau mampu mengkontekstualisasikan pemikiran keagamaan dengan isu-isu politik dan sosial saat ini. Pemikiran beliau tentang moderasi beragama menginspirasi pemikiran keagamaan saat ini.
Beliau adalah intelektual yang progresif dengan berbagai karya bukunya dan tulisannya di berbagai jurnal internasional.
Pemikiran keagamaan, politik, kebangsaan dan sosialnya sangat konstruktif dalam konteks keindonesiaan. Beliau termasuk diantara Pembaharu Islam di Indonesia masa kini.
Pemikirannya tdk hanya diakui secara nasional namun juga internasional. Berbagai penghargaan dari dunia internasional telah disandangnya. Salah satunya dari Kerajaan Inggris mendapatkan gelar CBE (Commander of the Order of the British Empire) dapat berhak mendapatkan gelar Sir. Juga dari Kaisar Jepang. Tentu banyak penghargaan internasional lainnya yang telah beliau dapatkan.
Kami sangat kehilangan guru kami. Selamat tinggal guru bangsa.