REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengkritik Kementerian Agama usai menerbitkan Peraturan Menteri Agama nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Menurut dia, Kemenag semestinya tidak perlu mengatur urusan yang bukan ranah negara.
“Majelis taklim tidak memerlukan (rekognisi negara seperti halnya Pesantren yang memang memiliki peran pendidikan yang mengeluarkan ijazah dan kontribusi negara untuk peningkatan kualitasnya,” tutur dia kepada Republika.co.id, Ahad (1/12).
Ace juga mempertanyakan soal keharusan majelis taklim mendaftarkan diri ke Kementerian Agama. Jika harus mendaftar, lantas apa konsekuensinya kalau tidak mendaftar. “Apakah mau dibubarkan Pemerintah? Tidak ada konsekwensinya jika Majelis Taklim tidak mendaftarkan ke Kementerian Agama,” ucapnya.
Menurut Ace, majelis taklim itu bukan seperti lembaga pendidikan formal yang sifatnya tetap. Melainkan, seharusnya lebih dimaknai sebagai forum pengajian dan silaturahmi warga muslim untuk mendalami keislaman, yang kerapkali temporer.
Selain itu, papar Ace, majelis taklim secara kelembagaan merupakan pranata sosial keagamaan yang lahir dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Dia mengatakan, tidak perlu ada pengaturan teknis dari Pemerintah. Majelis taklim merupakan ranah civil society Islam yang seharusnya diatur oleh masyarakat sendiri.
“Masa ibu-ibu berkumpul untuk mengaji harus daftar ke KUA? Dalam PMA juga disebutkan tiap setahun sekali harus melaporkan kegiatannya ke Kementerian Agama. Ini lebih lucu lagi, untuk apa Majelis Taklim memberikan laporan ke Kementerian Agama?,” ungkap dia.
Ace berharap agar Kemenag harus belajar kembali soal relasi antara negara dan civil society atau masyarakat dalam konteks membangun negara. Berbagai hal yang tidak perlu diatur negara maka tentu tidak perlu diatur seperti itu.
Sebelumnya, Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag), Juraidi, mengatakan, Kemenag mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim untuk memperkuat pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang rahmatal lil alamin. Majelis Taklim juga perlu diatur untuk membentengi masyarakat dari paham-paham radikal.
“Ini sekaligus untuk membentengi masyarakat dari paham keagamaan yang bermasalah seperti radikalisme agama, paham intoleran, dan seterusnya,” ujar Juraidi saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (30/11).
Ke depannya, menurut dia, Majelis Taklim yang ada sekarang harus ditingkatkan dalam pengelolaannya, sehingga bisa lebih banyak menebar manfaat di tengah-tengah masyarakat. “Majelis Taklim sebagai sarana pendidikan agama non-formal yang sangat fleksibel dari segi waktu dan tempat perlu ditingkatkan kualitas pengelolaannya agar lebih bermanfaat bagi masyarakat,” kata Juraidi.