JAKARTA — Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menargetkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) akan mulai dibahas setelah pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Setelah Revisi Undang-Undang Penanggulangan Bencana ini selesai maka saya akan konsentrasi untuk bisa menyelesaikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Ketua DPP Partai Golkar ini, dalam Diskusi Daring III: Penghapusan Kekerasan Seksual demi Keadilan, Pemulihan Korban dan Pencegahan Keberulangan yang Efektif, Selasa (11/8/2020).
Apalagi pimpinan DPR sudah mendapatkan surat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membahas bersama revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Setelah itu, RUU PKS akan menjadi target untuk diselesaikan di DPR, mengingat RUU ini juga termasuk sangat penting di tengah tren kekerasan seksual semakin tinggi.
Dia berpandangan, penyelesaian RUU PKS bukan hanya soal pemidanaan. Tapi juga soal bagaimana melakukan pencegahan dan negara hadir untuk memberikan keadilan yang setara di dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan.
Di samping itu, DPR, pemerintah dan masyarakat juga harus memiliki perspektif yang sama tentang perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
“Karena kita tahu, salah satu masalah, selalu menjadi problem kita adalah karena konstruksi relasi yang tidak setara itu mengakibatkan seseorang yang menjadi korban pun juga masih terus disalahkan,” tegasnya.
Untik itu, imbuh dia, kekerasan seksual adalah masalah serius yang harua dicarikan solusinya.
Tentu kembali ia tegaskan, penghapusan kekerasan seksual bukan hanya soal pemidanaan tetapi ini juga soal konstruksi cara berpikir, dan melakukan rehabilitasi terhadap korban.
Harapan Kementerian PPPA
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) berharap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2021.
Bahkan diharapkan RUU PKS bisa disahkan pada tahun 2021.
Hal itu disampaikan Pelaksana harian (Plh) Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Ratna Susianawati dalam Diskusi Daring III: Penghapusan Kekerasan Seksual demi Keadilan, Pemulihan Korban dan Pencegahan Keberulangan yang Efektif, Selasa (11/8/2020).
“Harapannya cukup besar di tahun 2021, kami masih berharap Rancangan Undang-Undang itu menjadi prioritas di dalam pembahasan prolegnas 2021,” ujar Ratna Susianawati.
Ia mengatakan, saat ini, RUU PKS telah dikeluarkan dari Prolegnas 2020.
Karena itu, timbul banyak kekhawatiran dalam masyarakat, terutama menyikapi kekerasan seksual yang semakin meningkat.
“Sebagian besar masyarakat berharap untuk lahirnya sebuah regulasi. Bagaimana bisa memberikan upaya-upaya yang sistematik, yang terintegrasi dan komprehensif dalam upaya memberikan perlindungan kepada korban kekerasan. Khususnya kekerasan seksual,” jelasnya.
Dalam beberapa waktu terakhir ini, Kementerisn PPPA menerima banyak sekali masukan-masukan dari banyak pihak untuk RUU PKS.
Banyak juga dukungan, dan harapan dari masyarakat akan adanya sebuah payung hukum atau regulasi yang bisa memberikan kepastian mulai dari pencegahan, penanganan, pemulihan ataupun upaya-upaya penegakan hukum.
Apalagi terjadi tren maraknya kasus kekerasan seksual di tengah masyarakat.
Melalui forum ini pula, kata dia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ingin mendapatkan masukan dari berbagai pihak, berbagai pandangan, khususnya bagaimana sisi-sisi budaya-budaya melihat ini semua.
“Jadi intinya pada hari ini diskusi ini adalah upaya kita untuk bisa membuat daftar rekomendasi-rekomendasi dan masukkan masukkan dalam rangka pengayaan,” jelasnya.
Komisi VIII DPR: Bukan Dihapus, RUU PKS Digeser ke Prolegnas Prioritas 2021
Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, menyatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak dihapus begitu saja dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Menurut dia, RUU PKS hanya digeser dari Prolegnas Prioritas 2020 ke 2021.
“Bukan menghapus, tapi menggeser di 2021 supaya beban DPR itu tidak banyak dan tetap terbahas,” kata Marwan saat dihubungi Kompas.com, Rabu (1/7/2020).
Ia pun menjelaskan alasan mengapa RUU PKS diusulkan ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020.
Marwan mengatakan, hingga saat ini pembahasan RUU PKS belum memungkinkan karena lobi-lobi dengan seluruh fraksi di DPR masih sulit dilakukan.
“Saya dan teman-teman di Komisi VIII melihat peta pendapat para anggota tentang RUU PKS masih seperti (periode) yang lalu. Butuh ekstra untuk melakukan lobi-lobi,” jelas Marwan.
Dia mengatakan, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual.
Selain itu, aturan mengenai pemidanaan masih menjadi perdebatan.
“Masih seperti saat itu, yaitu judul, definisi, dan pemidanaan. Tentang rehabilitasi perlindungan. Jadi yang krusial adalah judul definisi. Definisi sebenarnya sudah hampir mendekati waktu itu,” ucapnya.
Kemudian, lanjut Marwan, Komisi VIII berpandangan akan banyak pihak yang butuh diakomodasi lewat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dalam pembahasan RUU PKS.
Karena itu, ia mengatakan RUU PKS nyaris tidak mungkin dibahas dan diselesaikan hingga Oktober 2020.
“Kemudian ketika kami nanti buka pembahasan RUU PKS ini pasti banyak yang akan meminta untuk didengarkan pendapatnya. Maka butuh RDPU lagi, sambil membahas sambil RDPU. Karena itu tidak mungkin kita selesaikan sampai Oktober,” tuturnya.
Marwan pun menjamin RUU PKS akan didaftarkan kembali sebagai Prolegnas Prioritas 2021.
Dia juga memastikan RUU PKS dibahas oleh DPR dan pemerintah.
“Masuk. (Pasti) dibahas. Itu usulan kita. Kalau itu kan harus (dibahas) karena itu undang-undang carry over,” ujar Marwan.
Soal usul penarikan RUU PKS dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 disampaikan pimpinan Komisi VIII dalam rapat koordinasi evaluasi prolegnas bersama Badan Legislasi DPR, Selasa (30/6/2020).
RUU PKS merupakan RUU inisiatif DPR dan berstatus carry over atau kelanjutan dari periode sebelumnya.(
Sumber : Tribunnews.com