Hari ini, 9 Dzulhizah 1439 H, 3 jutaan umat Islam seluruh dunia berkumpul di Arafah, sebuah padang luas berjarak 22 KM sebelah timur Kota Mekkah al-Mukarramah. Semua jemaah haji, laki-laki-perempuan, tua-muda, kulit hitam-putih, bangsa Timur-Barat, sekitar 3 jutaan lebih manusia berkumpul di titik ini. Tak ada yang berpakaian lain, kecuali dua helai kain ihram berwarna putih melekat dalam tubuh mereka.
Arafah itu adalah puncak haji. Sabda Nabi Muhammad: Al-Hajj ‘Arafat, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Dawud, At-Tirmidzi. Berhaji itu adalah wukuf di Arafah. Puncak ibadah haji adalah menetap diam di Arafah. Kami mendengarkan kotbah, salat, berzikir, merenung dan berkontemplasi di bawah terik matahari serta di atas tanah tandus seperti kita sedang di alam mahsyar. Alam di mana diyakini akan kita lalui pada saat kita akan dibangkitkan dari kubur (yaum al-ba’ats).
Memaknai Arafah bukan sekadar sebuah tempat belaka. Namun, perlu juga kita memahami secara filosofis di balik makna terdalam dari kata ini. Arafah, kata cendekiawan muslim asal Iran Ali Syariati dalam bukunya Hajj, adalah pengetahuan. Satu akar dengan ma’rifat yaitu suatu kesadaran ketuhanan tertinggi yang dimiliki manusia. Kata Imam Ghazali, ma’rifat itu tujuan akhir yang harus dicapai manusia sebagai kesempurnaan tertinggi yang mengandung kebahagiaan hakiki.
Ahli Tafsir kebanggaan Indonesia, Prof Quraish Shihab (2012), mengatakan bahwa Arafah antara lain bermakna mengenal atau mengakui, karena seharusnya di tempat inilah manusia mengenal jati diri dan menyadari serta mengakui dosa-dosanya. Beragam makna Arafah ini setidaknya kita dapat menarik benang merah yang penting untuk kita pahami bersama bahwa puncak ibadah haji adalah bahwa manusia dituntut untuk dapat mengetahui, mengenali, dan memahami secara sempurna tentang keberadaan manusia di depan Sang Khaliq, Sang Maha Pencipta.
Siang hari hingga terbenamnya matahari, kami bersimpuh dalam kekusyukan melafalalkan kalimat-kalimat keagungan Allah. Berzikir, bertasbih, bertahlil, beristigfar, meminta ampunan kepada Tuhan, berdoa untuk diri sendiri, keluarga, saudara-saudara, dan kebaikan bangsa kita. Kami adalah titik-titik kecil di antara kebesaran jagat semesta. Kita berkontemplasi dalam kebesaran Tuhan Yang Maha Agung. Kami merenung dan melakukan refleksi atas betapa lemahnya kami di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Kita hanyut dalam aura spiritualitas yang mendalam. Rintihan dalam doa. Tangisan dalam penyesalan atas berbagai dosa dan kesalahan kita pada masa lalu kepada Tuhan, dan juga kepada sesama manusia membuncah dalam ratapan dari setiap mulut kami. Kami memiliki harapan dan keinginan untuk meraih keagungan-Nya. Di Arafah ini momentum yang tepat untuk kami menyadari tentang relasi manusia dengan Tuhan-Nya.
Pemaknaan Haji
Wukuf di Arafah merupakan bagian dari rangkaian ibadah haji yang lain. Sebelumnya, kita wajib memakai baju ihram, melepaskan pakaian yang biasa melekat pada diri kita. Setelah kita berwukuf di Arafah, kita bertolak ke Muzdalifah untuk menetap sebentar dalam pergantian malam (mabyt); thawaf, mengelilingi Kabah tujuh kali sebagai pusat episentrum dan titik temu penghadapan hamba kepada Allah; sa’i, berjalan disertai lari-lari kecil dari Bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali; mina, berdiam diri menetap sambil memusatkan pikiran bertafakur penuh harapan kepada Allah; dan jamarat, melempar batu pada tiga tugu yang merupakan perlambang setan yang selalu menggoda manusia.
Rangkaian ibadah haji ini sesungguhnya merupakan ajaran Nabi Muhammad yang menyempurnakan apa yang pernah dipraktikkan dan diajarkan para Rasul sebelumnya, dari mulai Adam dan terutama Sang Monotheisme dunia, Nabi Ibrahim dan keluarganya. Ibrahim merupakan manusia terpilih Tuhan yang telah meletakkan dasar Ketuhanan yang kokoh yang telah dialami oleh dirinya. Inti dari ajaran utamanya adalah tentang bagaimana konsep ketauhidan, pengesaan Tuhan, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Allah.
Manusia ini, sungguh, bagian kecil dari kebesaran alam ciptaan-Nya. Kita ini setitik mikrokosmos dari makrokosmos semesta alam hasil kreasi Sang Pecipta. Tak pantas rasanya kita besar, takabur dan sombong atas apa yang kita miliki. Namun, diri kita selalu memiliki perasaan itu.
Apa yang membuat kita selalu lupa akan eksistensi diri kita? Pertama kali adalah soal apa yang melekat pada diri, yaitu pakaian kita. Pakaian dalam pengertian luas, yaitu identitas yang melekat pada diri kita. Menurut Ali Syariati, pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, sikap ananiyah (ke-aku-an) dan egoistis. Pakaian telah memecah belah anak-anak Adam. Karena itu, kata Ali Syariati, pakaian model ibadah ihram bukanlah penghinaan tetapi penggambaran kualitas manusia di hadapan Tuhan. Pakaian ihram, lanjutnya, telah menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan karena kelas ekonomi, kedudukan sosial, dan ras suku bangsa.
Dengan berpakaian dua helai selendang ihram, kita melepaskan diri dari sekat-sekat psikologis yang membuat kita berbeda secara status sosial, ekonomi atau profesi. Kita berada dalam satu persamaan sebagai manusia, senasib dan sepenanggungan, menyatukan diri dalam peleburan penghambaan kepada Tuhan, pemilik alam semesta. Kita lepaskan sikap-sikap kebinatangan (bahiymaah) yang ada pada diri kita. Perlambang kebinatangan itu, kata Ali Syariati, seperti serigala yang melambangkan kekejaman dan penindasan, tikus yang melambangkan kelicikan, anjing yang menandakan tipu daya, dan domba yang melambangkan penghambaan kepada makhluk.
Kemanusiaan Kita
Dalam ber-ihram, kita dituntut untuk dapat mengendalikan diri kita. Manusia sejati selain mengetahui tentang eksistensi di hadapan Tuhannya, juga mampu mengendalikan hawa nafsunya, mengelola internal dirinya, lingkungan sosial dan juga lingkungan alamnya. Kesejatian manusia itu tergambar pada saat kita sedang berhaji.
Seseorang yang telah berniat haji, maka kata Allah: tidak ada rafats, tidak boleh bersebadan dengan pasangan atau bercumbu, tidak ada ke-fasiq-kan, yakni ucapan atau perbuatan yang dapat melanggar norma susila dan agama, dan tidak ada jidal, yakni perbantahan yang dapat menimbulkan permusuhan, perselisihan dan perpecahan. (La rafatsa, wa la fusuqa, wa la jidala fil hajj –al-Baqarah: 197)
Manusia memiliki kodratnya atas kebutuhan biologis. Itu wajar dan manusiawi. Namun, ada saatnya. Sekarang saatnya berkonsentrasi penuh menghadap Tuhannya. Tangguhkan dulu nafsu kita. Konsentrasikan pikiran, hati dan jiwa kita bersama Sang Khaliq. Setelah selesai melaksanakan rukun haji, lalu ber-tahalul (ditandai menggunting sebagian rambut), kita diperbolehkan bercumbu dengan pasangan kita.
Kita harus menjauhkan dari kemaksiatan dan kefasikan, sikap dan tindakan yang menunjukkan ketercelaan, keburukan, kerusakan di muka bumi baik kepada sesama manusia seperti membubuh dan menyakiti sesama manusia, maupun merusak lingkungan, mencerabut tumbuhan dan pepohonan. Semua kefasikan dan kerusakan yang dapat menimbulkan rusaknya tatanan sosial dan lingkungan menjadi larangan dalam melakukan perjalanan spiritual ini.
Bersihkan hati dan pikiran kita. Segala kata-kata dan ucapan lisan kita berangkat dari hati dan pikiran kita. Tutur kata, ucapan dan lisan harus dijaga. Segala potensi yang dapat menimbulkan ketidaksukaan orang lain harus dihindari. Berpikiranlah yang positif (husnudz dzon), jauhi prasangka buruk (suu’ dzon). Jauhkan perasaan sikap kita dari iri dan dengki kepada orang lain. Jauhkan dari sikap adu domba, ghibah, dan namimah. Apalagi berbuat fitnah, menebarkan berita-berita yang tidak jelas sumber kabarnya alias hoax.
Kemampuan manusia untuk dapat mengetahui jati dirinya secara sempurna, akan membawanya kepada tujuan penciptaannya yaitu sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi ardh). Ritual haji dengan segala simbol dan perlambangnya telah menunjukkan kepada kita tentang perintah agar kita berkomitmen untuk meneguhkan ke-Esa-an Allah, eksistensi manusia dan peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. Manusia memiliki dwi-dimensi yang harus memerankan dirinya sebagai makhluk yang beriman kepada Allah, dan pada saat yang bersamaan menjadi makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan sesamanya sesuai dengan peran-peran kemanusiaannya.
Itulah arti kesejatian manusia yang tergambar dalam prosesi ritual haji. Kita seperti dihantarkan kepada citra manusia yang sempurna (insan al-kamil). Sebuah citra manusia paripurna di hadapan Tuhan. Tak salah apabila Allah menempatkan rukun Islam ini sebagai pilar yang kelima untuk menyempurnakan seluruh ibadah manusia kepada Allah.
Tentu gambaran manusia ideal ini tidak hanya tercermin dalam rangkaian ibadah haji. Namun, perlu diwujudkan dalam praktik sosial kemasyarakatan jika sudah kembali ke Tanah Air. Bukan saja kita telah menyandang gelar simbolik “haji” yang melekat dalam nama kita sehingga tambah mentereng dan berwibawa dengan dihiasi sorban dan peci putihnya. Namun, lebih jauh dari itu kita dituntut untuk dapat memelihara nilai-nilai kesempurnaan haji dalam kehidupan keseharian kita. Tak mudah memang. Tapi, harus kita pelihara nilai-nilai kemanusiaan tertinggi yang diajarkan dalam ritual haji ini.
Allah menjanjikan kepada kita: Al-Hajj al mabrur laisa lahu jaza’un illa al-Jannah. Semoga kami dan seluruh jamaah haji Indonesia dapat meraih haji yang mabrur. Jika kita mampu memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran haji dengan baik dalam kehidupan keseharian pasca pelaksanaan haji, maka kita dapatkan digolongkan ke dalam haji yang mabrur. Tentu dengan harapan bahwa kami mendapatkan pahala surga Allah, sebagaimana yang dijanjikan-Nya. Amiin ya rabbal alamin.
Wallahu ‘alam bish showab.
Ace Hasan Syadzily Wakil Ketua Komisi VIII DPR Bidang Agama dan Sosial, Ketua DPP Partai Golkar